Tidak jauh dari lokasi lambang peribadatan terdapat sebuah menhir dan
dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun. Menhir berukuran
tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm.
Menurut cerita, di sinilah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi
Naganingrum, kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai
Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu
selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya
setelah melahirkan.Masyarakat mempunyai mitos pada tempat ini. Sebagian
masyarakat percaya bahwa kalau ada ibu-ibu yang belum dikaruniai anak
dan ingin mempunyai anak, maka harus bersandar di tempat itu.
Nah
bila ke tempat ini sempatkan lah mengunjungi cikahuripan letak nya
masih berada di dalam lokasi situs,tempat ini merupakan sebuah sumur
yang letak nya dekat dengan pertemuan sunagi citanduy dan cimuntur.sumur
ini tidak pernah kering bahkan di kala musim kemarau panjang,oleh
karena itu di percaya sebagai sumur kehidupan.dan saat ini tidak jarang
di gunakan para pengunjung untuk mencuci muka,karena di percaya bisa
membuat awet muda.selain itu terdapat juga sebuah makam dipati
panaekan,beliau adalah putra kedua dari Cipta Permana (Prabu di Galuh)
Raja Galuh Gara Tengah, ia wafat karena dibunuh oleh adik iparnya
sendiri yang bernama Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I) karena
perselisihan paham dalam rangka penyerbuan Belanda ke Batavia dimana
Panaekan condong ke pendapat Dipati Ukur sedangkan Singaperbangsa
condong ke pendapat Rangga Gempol. Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan
ke Cimuntur dan diangkat lagi dipertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai
Citanduy lalu dikuburkan di Karang Kamulyan.
Yang tidak
kalah penting lain nya ialah, di tempat ini terdapat sebuah jalan
kuno,konon jalan ini dulu nya merupakan jalan yang menghubungkan
kerajaan pajajaran dengan kerajaan lain nya seantero pulau jawa seperti
majapahit maupun sumedang larang,sayang sekali akibat tergerus jaman
peninggalan nya saat ini hanya tinggal sedikit.selain ramai oleh
pengunjung di hari hari biasa.menjelang bulan ramadhan tempat ini kerap
pula menggelar sebuah upacara memagari pangcalikan,biasa nya upacara ini
di mulai dengan doa bersama yang di pimpin oleh juru kunci karang
kamulyan,selanjut nya para peserta upacara melakukan makan bersama di
sekitar pangcalikan. Masyarakat juga membawa bambu dan menggunakan bambu
tersebut untuk membuat pagar bambu mengelilingi pancalikan. Kegiatan
ini juga mempunyai arti tersendiri yaitu memagari atau membentengi umat
muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa dari gangguan setan yang akan
terus menggangu umat manusia.
Keunikan lain
nya di okasi ini ialah,selain para pengunjung bisa belajar sejarah
dengan melihat berbagai peninggalan arkeologis.para pengunjung di suguhi
juga dengan keasrian lam yang masih terjaga,pepohonan rindang serta
udara sejuk adalah hal yang bisa di nikmati,tidak jauh dari lokasi
parker yang luas berjejer puluhan penjual makanan dengan menu khas
sunda,yang paling di cari oleh pengunjung ialah berbagai jenis karedok
dan rujak segar.kerap kali setelah mengelilingi kompleks situs para
pengunjung mengisi perut yang keroncongan dengan berbagai makanan dan
minuman yang tersedia.
Secara administrative, situs ini
terletak di kecamatan Cijeunjing,kabupaten Ciamis,dari pusat kota ciamis
letak nya kurang leih 17 kilometer ke arah kota Banjar. Karang Kamulyan
adalah salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Ciamis. Cagar
budaya ini luasnya sekitar 25 Ha letak nya sangat strategis karena
terletak di antara pertemuan dua sungai yaitu sungai citanduy dan sungai
cimuntur. Menurut penyelidikan tim arkeologi dari Balar yang dipimpin
oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997, situs Karangkamulyan merupakan
peninggalan Kerajaan Galuh yang pertama. Dari simpulan penelitian nya,di
duga sejak abad ke Sembilan masehi,di tempat ini telah ada
kehidupan,terbukti dengan di temukan nya keramik yang berasal dari
dinasti ming. selain itu dari berbagai penelitian ahli sejarah,mereka
menyimpulkan bahwa agama yang dianut pada masa Kerajaan Galuh adalah
agama Hindu karena berdasarkan Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa
pemujaan yang umum dilakukan oleh Raja Galuh adalah sewabakti ring
batara upati. Upati berasal dari bahasa Sansekerta utpati atau utpata,
yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa agama Hindu dari mazhab
Siwa. (Nugroho Notosusanto ; 1993 : 358)